Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seni Menjaga Lisan di Zaman Media Sosial

Di tengah derasnya arus teknologi, media sosial telah menjadi ruang baru di mana manusia saling berinteraksi. Dahulu, lisan adalah suara yang keluar dari mulut. Kini, lisan memiliki bentuk lain: jari-jari yang mengetik cepat, komentar yang terlempar dalam hitungan detik, dan pendapat yang tersebar tanpa batas. Dunia digital adalah panggung luas, dan setiap orang memiliki mikrofon di tangannya. Di sinilah pentingnya memahami kembali seni menjaga lisan, karena apa yang kita ketik adalah gambaran dari hati dan akhlak kita.

Lisan Digital Lebih Berbahaya dari Ucapan

Kata-kata yang terucap mungkin hilang ditiup angin, tetapi kata-kata yang diketik dapat meninggalkan jejak abadi. Komentar yang ditulis tanpa berpikir panjang bisa menyakiti banyak hati, merusak reputasi seseorang, bahkan memicu perpecahan. Betapa banyak perselisihan bermula dari komentar pendek, atau dari status yang ditulis dalam keadaan emosi. Dalam dunia digital, satu kalimat dapat menyebar ke ribuan orang tanpa kita bisa menariknya kembali. Inilah alasan mengapa menjaga lisan digital jauh lebih penting dan menantang daripada menjaga lisan dalam ucapan.

Tidak Semua yang Kita Ketahui Harus Diutarakan

Salah satu bentuk kebijaksanaan adalah mengetahui kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Dalam hadis Rasulullah ﷺ disebutkan:

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Prinsip ini tidak hanya berlaku dalam percakapan langsung, tetapi juga dalam aktivitas bermedia sosial. Tidak semua yang benar harus kita komentari. Tidak semua yang kita ketahui harus kita sebarkan. Terkadang, menahan diri untuk tidak menulis sesuatu jauh lebih baik daripada menambah keruh suasana.

Jejak Digital Adalah Bagian dari Catatan Amal

Setiap kata yang kita tulis adalah bagian dari catatan amal yang suatu hari akan diminta pertanggungjawabannya. Komentar, unggahan, dan pesan pribadi sekalipun—semua menjadi saksi atas diri kita. Pada hari ini kita mungkin merasa bebas menulis apa saja, tetapi kelak semua akan dipertanggungjawabkan. Dengan memahami hal ini, kita akan lebih berhati-hati, lebih lembut dalam berkata, dan lebih memilih untuk menghadirkan manfaat dalam setiap tulisan.

Diam: Bentuk Kebijaksanaan yang Mulia

Dalam dunia yang semakin gaduh, diam menjadi sesuatu yang langka sekaligus berharga. Diam bukan berarti kalah. Diam bisa berarti bahwa kita memilih kedamaian daripada debat yang tak berujung. Kita memilih ketenangan daripada memperkeruh keadaan. Banyak konflik di media sosial yang bisa dihindari hanya dengan satu langkah sederhana: tidak membalas. Ketika lisan (atau jari) kita mampu menahan diri, di situlah letak kemuliaan akhlak.

Gunakan Lisan sebagai Sumber Kebaikan

Sebaliknya, media sosial juga dapat menjadi ladang amal. Melalui lisan digital, kita dapat menyebarkan motivasi, nasihat penuh hikmah, ayat Al-Qur’an, hadis, dan kebaikan lainnya. Satu postingan yang bermanfaat dapat menginspirasi ribuan orang dan menjadi sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir. Dunia digital adalah ruang besar—tinggal bagaimana kita mengisinya.


Penutup

Seni menjaga lisan di zaman media sosial bukanlah perkara kecil. Ia menjadi pondasi akhlak seorang muslim dalam menghadapi dunia yang serba cepat dan terbuka. Ketika kata-kata menjadi murah, maka kebijaksanaan menjadi mahal. Jagalah lisan, baik yang terucap maupun yang tertulis, agar apa yang keluar dari diri kita selalu menjadi cerminan adab, ilmu, dan keimanan.

 

Lokasi Kami