Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Santri, Cerita Kita Tak Pernah Usai


Ada sesuatu yang berbeda ketika kita menyebut kata “santri.”
Bukan hanya tentang seseorang yang tinggal di pesantren, mengenakan sarung, dan bangun sebelum fajar.
Tapi tentang jiwa yang ditempa kesabaran, kebersamaan, dan keikhlasan setiap hari.

Setiap pagi dimulai dengan suara adzan subuh yang menggema di langit pesantren.
Masih dengan mata setengah terbuka, langkah kaki menuntun menuju masjid.
Di sanalah, kebersamaan itu lahir — bukan karena darah, tapi karena satu tujuan: mencari ridha Allah.

Ada tawa yang lahir dari lelah menghafal, ada canda di sela-sela belajar, dan ada air mata yang diam-diam jatuh saat rindu rumah datang menyerang.
Namun justru di situlah kita belajar: bahwa hidup di pesantren bukan sekadar menuntut ilmu, tapi juga belajar memahami arti ukhuwah fillah — persaudaraan karena Allah.

Allah ﷻ berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.”
(QS. Al-Hujurat: 10)

Ayat ini bukan hanya sekadar perintah, tapi napas kehidupan di pesantren.
Kita belajar menahan ego, belajar berbagi, bahkan belajar memaafkan teman sekamar yang mengambil sandal tanpa izin. 

Di Asrama Sunan Bonang, setiap malam bukan sekadar waktu istirahat.
Itu adalah waktu di mana cerita tumbuh — entah dari obrolan ringan di serambi, dari tawa kecil di dapur, atau dari untaian doa yang dipanjatkan bersama sebelum tidur.

Dan kelak, ketika kita sudah melangkah keluar dari gerbang pesantren, mungkin jarak akan memisahkan, tapi kenangan itu tidak pernah pergi.
Masih ada aroma mushaf yang dipegang bersama, suara teman yang membaca dengan tartil, dan gema adzan yang seolah memanggil kita untuk kembali.

Kita akan menyadari satu hal:

Bahwa masa menjadi santri bukan hanya bagian dari hidup, tapi hidup itu sendiri.

Maka, biarlah waktu berjalan, biarlah langkah kita berpencar.
Namun kisah ini — kisah antara ilmu, doa, dan persaudaraan — takkan pernah usai.
Sebab santri bukan hanya sebutan, tapi identitas jiwa yang terus hidup dalam setiap sujud dan perjuangan.


Santri, cerita kita mungkin telah berganti bab, tapi tak pernah benar-benar berakhir.
Karena setiap kenangan di pesantren adalah doa yang masih terus berbisik di hati.

 

Lokasi Kami