Mengapa Hati Kita Masih Gelisah Meski Rajin Ibadah?
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, manusia sering kali menjadikan ibadah hanya sebagai rutinitas, bukan kebutuhan ruhani. Gerakan salat dilakukan dengan tertib, tetapi hati tidak benar-benar hadir. Lisan mengucap zikir, namun pikiran melayang ke urusan dunia. Maka wajar jika ketenangan yang dijanjikan oleh Allah belum sepenuhnya terasa.
Allah ﷻ berfirman dalam Surah Ar-Ra’d ayat 28:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Ayat ini menjelaskan bahwa ketenangan sejati tidak terletak pada banyaknya ibadah secara lahiriah, melainkan pada kehadiran hati dalam setiap ibadah yang dilakukan. Zikir bukan sekadar lafaz yang diulang, tetapi harus menjadi jalan bagi hati untuk dekat dengan Sang Pencipta.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa kegelisahan yang muncul meski seseorang rajin beribadah sering kali disebabkan oleh ghaflah (lalai). Lalai bukan berarti meninggalkan ibadah, melainkan mengerjakannya tanpa kesadaran makna. Seseorang mungkin menunaikan salat, tetapi pikirannya tetap disibukkan oleh urusan dunia; ia mungkin membaca Al-Qur’an, tetapi tidak merenungi maknanya. Dalam kondisi seperti itu, ibadah hanya menjadi gerakan fisik, bukan pertemuan ruhani dengan Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadis riwayat Tirmidzi:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian.”
Hadis ini mengingatkan bahwa inti dari ibadah bukan terletak pada bentuknya, melainkan pada kebersihan hati yang melandasinya. Apabila hati dipenuhi dengan kesombongan, iri, atau kebencian, maka sebesar apa pun ibadah yang dilakukan, sulit bagi ketenangan untuk hadir.
Kegelisahan juga sering timbul karena kita menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal duniawi. Padahal, dunia bersifat fana dan selalu berubah. Ketika kita terlalu berharap pada manusia, harta, atau jabatan, maka kita menyiapkan ruang bagi kekecewaan. Sebaliknya, ketika hati bersandar kepada Allah semata, maka apapun yang terjadi akan terasa lebih ringan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperbaiki niat dan menghadirkan kesadaran penuh dalam beribadah. Setiap kali berdiri untuk salat, hadirkan perasaan bahwa kita sedang berhadapan langsung dengan Allah. Saat membaca Al-Qur’an, rasakan bahwa setiap ayat adalah pesan cinta dari Sang Pencipta kepada hamba-Nya. Dan ketika berzikir, biarkan hati larut dalam rasa syukur, bukan sekadar mengulang lafaz tanpa makna.
Selain itu, introspeksi diri juga perlu dilakukan. Mungkin ada dosa yang belum kita taubati, ada hak orang lain yang belum kita kembalikan, atau ada hati yang pernah kita sakiti. Semua itu bisa menjadi penghalang turunnya ketenangan. Sebab, dosa adalah kegelapan yang menutupi cahaya iman. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apabila seorang hamba melakukan dosa, maka timbullah noktah hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, maka hatinya akan bersih kembali. Namun jika ia terus mengulanginya, maka noktah itu akan semakin menutupi hatinya.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menjelaskan bahwa hati yang gelisah sering kali adalah hati yang kotor oleh dosa. Oleh karena itu, memperbanyak istighfar dan taubat bukan hanya membersihkan jiwa, tetapi juga membuka jalan menuju ketenangan.
Akhirnya, ketenangan bukanlah hadiah yang datang dengan sendirinya, melainkan hasil dari perjuangan dalam memperbaiki hati. Ibadah yang dilakukan dengan penuh kesadaran, niat yang tulus, dan hati yang bersih akan melahirkan kedamaian sejati.
Maka, jika hati masih terasa gelisah meski kita rajin beribadah, jangan terburu-buru menyalahkan takdir. Mungkin, Allah sedang mengajarkan kita untuk tidak sekadar beribadah, tetapi benar-benar menghidupkan ibadah itu di dalam hati.
Sebagaimana firman Allah ﷻ dalam Surah Al-Baqarah ayat 152:
“Maka ingatlah Aku, niscaya Aku pun akan mengingatmu; bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat-Ku).”
Dengan mengingat Allah secara sungguh-sungguh, hati akan kembali tenang, pikiran menjadi jernih, dan hidup terasa lebih bermakna.