Generasi Qurani, Semangat Tanpa Henti
Beberapa terlihat serius menatap kitab di tangan, sebagian lagi saling bertukar senyum sambil memperhatikan penjelasan dari ustadz di depan. Tidak ada layar ponsel, tidak ada hiruk pikuk dunia luar—yang ada hanya keheningan yang dipenuhi lantunan ayat dan doa.
Rasulullah SAW bersabda:“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”(HR. Bukhari)
Hadis ini seakan menjadi semangat yang tak pernah padam di dada para santri. Mereka sadar bahwa belajar Al-Qur’an bukan sekadar menambah pengetahuan, tetapi juga meneguhkan kedekatan dengan Sang Pencipta. Setiap ayat yang dibaca membawa ketenangan, setiap pelajaran yang dipahami menumbuhkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Di antara barisan santri itu, tampak beberapa anak masih belia. Namun semangat mereka luar biasa. Walau kadang letih, tak ada yang mengeluh. Mereka tahu, perjuangan menuntut ilmu bukan jalan mudah, tapi penuh keberkahan. Seorang ustadz di Asrama Sunan Bonang sering berpesan,
“Ilmu itu cahaya. Dan cahaya tidak akan masuk ke hati yang malas.”
Pesan sederhana itu melekat kuat di benak para santri. Maka tak heran jika selepas shalat Maghrib, mereka kembali membuka kitab, membaca dengan suara pelan, saling menyimak, dan berdiskusi bersama. Kadang mereka tertawa kecil, kadang serius berdialog tentang makna ayat. Inilah kehidupan santri — hidup dalam lingkaran ilmu dan doa.
Dalam setiap kegiatan, para santri dilatih untuk menjadi generasi Qurani — generasi yang menjadikan Al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, tapi sebagai pedoman hidup. Mereka diajarkan bahwa nilai-nilai Qurani harus tampak dalam perilaku: sopan terhadap guru, santun terhadap sesama, disiplin waktu, dan rendah hati dalam beramal.
Allah SWT berfirman:"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka secara sembunyi maupun terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi."(QS. Fathir: 29)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia. Setiap waktu yang mereka habiskan di pesantren adalah bentuk investasi akhirat, dan setiap huruf yang mereka baca adalah doa yang terbang menuju langit.
Kehidupan santri memang sederhana, tetapi semangat mereka besar. Mereka belajar mengatur waktu, beradaptasi dengan rutinitas, dan menjaga hubungan dengan teman satu asrama. Ada yang menjadi pengingat bagi yang lain, ada yang diam-diam membantu temannya yang kesulitan. Inilah bentuk nyata ukhuwah Islamiyah — persaudaraan yang dibangun atas dasar iman dan cinta kepada Allah.
Asrama Sunan Bonang bukan hanya tempat tidur dan belajar, tetapi juga tempat tumbuhnya karakter. Di sinilah para santri belajar arti keikhlasan dalam melayani, arti sabar dalam menghadapi ujian, dan arti rendah hati dalam menuntut ilmu. Mereka tumbuh bersama, belajar bersama, dan berdoa agar kelak bisa menjadi bagian dari mereka yang membawa manfaat bagi umat.
Bagi mereka, semangat tidak boleh padam. Setiap pagi adalah awal perjuangan baru, setiap malam adalah waktu muhasabah diri. Hidup di pesantren mengajarkan bahwa keberkahan tidak datang dari kemewahan, tapi dari niat yang lurus dan usaha yang sungguh-sungguh.
Dan di setiap wajah santri yang tertunduk khusyuk itu, tersimpan harapan besar: semoga kelak mereka bisa menjadi ulama, pendidik, pemimpin, atau apa pun yang bermanfaat bagi umat — asalkan tetap berpegang pada nilai-nilai Qurani yang mereka pelajari di sini.
“Belajar karena Allah, berjuang tanpa henti, dan berbuat untuk negeri.”
Dan dari ruangan sederhana di Asrama Sunan Bonang inilah, lahir generasi Qurani yang semangatnya tak akan pernah padam — generasi yang terus menyalakan cahaya ilmu di tengah gelapnya zaman, demi masa depan yang penuh berkah dan ridha Ilahi.