Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lisan, Cermin Hati Kita : Refleksi atas nasihat Imam Syafi'i

 

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak pernah lepas dari berbicara. Melalui lisan, seseorang menyampaikan gagasan, berinteraksi dengan sesama, dan mengekspresikan isi hati. Namun di balik nikmat berbicara, tersembunyi tanggung jawab besar yang sering kali dilupakan. Sebab, dari lisan pula banyak kebaikan hilang, dan dari lisan pula hati manusia menjadi gelap.

Imam Syafi’i, salah satu ulama besar dalam sejarah Islam, pernah memberikan nasihat yang sangat dalam maknanya:

“Barang siapa yang ingin hatinya bersinar, maka hendaklah ia kurangi berbicara tentang hal yang tidak berguna.”

Kalimat singkat ini mengandung hikmah yang luas. Ia mengingatkan kita bahwa kejernihan hati sangat bergantung pada bagaimana kita menjaga lisan. Dalam banyak hal, ucapan yang keluar dari mulut mencerminkan isi hati seseorang. Ketika hati bersih, maka kata-kata yang terucap pun akan penuh makna dan manfaat. Sebaliknya, ketika hati dipenuhi amarah, iri, atau kesombongan, maka lisan menjadi sarana yang menyakiti dan menodai nilai diri.

Makna Mendalam di Balik Nasehat Imam Syafi’i

Ucapan Imam Syafi’i bukan sekadar ajakan untuk diam, tetapi sebuah seruan agar manusia menimbang setiap kata yang hendak diucapkan. Tidak semua yang kita pikirkan perlu disampaikan, dan tidak semua yang kita ketahui harus diutarakan. Dalam pandangan Islam, menjaga lisan termasuk bagian dari menjaga kehormatan diri. Rasulullah ﷺ bahkan bersabda:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memperkuat pesan Imam Syafi’i. Ucapan yang baik akan menumbuhkan kebaikan, sedangkan ucapan yang sia-sia hanya akan membebani hati. Semakin seseorang terbiasa berbicara tanpa manfaat, semakin besar pula kemungkinan hatinya tertutup dari cahaya kebenaran.

Lisan Sebagai Cermin Keadaan Hati

Lisan ibarat cermin yang memantulkan keadaan batin seseorang. Jika hati seseorang tenang, ucapannya akan lembut dan menentramkan. Namun jika hatinya keruh, kata-katanya akan penuh amarah dan keluh kesah. Di sinilah pentingnya introspeksi diri: seberapa sering kita berbicara tanpa tujuan yang jelas? Berapa banyak waktu terbuang hanya untuk membicarakan hal-hal yang tidak membawa manfaat, atau bahkan menimbulkan dosa seperti ghibah, fitnah, dan perdebatan sia-sia?

Hati yang bersih tidak tumbuh dari banyak berbicara, melainkan dari kebiasaan menahan diri. Dalam diam, seseorang belajar mendengar, memahami, dan merenung. Dalam diam pula, seseorang memberi ruang bagi hatinya untuk beristirahat dari kebisingan dunia. Imam Syafi’i memahami bahwa manusia sering kali kehilangan ketenangan bukan karena kekurangan ibadah, tetapi karena lisannya terlalu aktif berbicara tentang hal-hal yang tidak bernilai.

Diam yang Bernilai

Perlu dipahami bahwa diam yang dimaksud bukan berarti menjauh dari komunikasi atau menutup diri. Diam yang bernilai adalah kemampuan menahan diri untuk tidak berkata kecuali sesuatu yang bermanfaat. Orang bijak tidak banyak bicara, tetapi ketika ia berbicara, kata-katanya mengandung hikmah. Ia tahu kapan harus berbicara, dan kapan sebaiknya diam.

Dalam dunia modern yang serba cepat ini, kebiasaan menjaga lisan semakin sulit. Media sosial menjadikan setiap orang mudah untuk berkomentar dan menilai tanpa berpikir panjang. Namun justru di sinilah ujian terbesar menjaga lisan di zaman ini. Menahan diri dari ucapan yang tidak berguna, termasuk dalam bentuk tulisan, adalah bagian dari ibadah hati.

Menjaga Lisan, Menjaga Cahaya Hati

Imam Syafi’i mengajarkan bahwa hati yang bersinar tidak akan lahir dari lisan yang kotor. Kata-kata yang diucapkan tanpa manfaat adalah seperti debu yang menutupi cermin hati. Semakin banyak debu itu menempel, semakin sulit hati memantulkan cahaya kebenaran. Oleh karena itu, seseorang yang ingin memperbaiki hatinya harus mulai dengan memperbaiki lisannya.

Menjaga lisan bukanlah perkara mudah, tetapi merupakan tanda kematangan iman. Ia menunjukkan kedewasaan seseorang dalam menimbang manfaat dan mudarat dari setiap perkataannya. Bila setiap kata yang keluar disertai kesadaran dan tanggung jawab, maka lisan akan menjadi sumber pahala, bukan dosa.

Penutup

Nasihat Imam Syafi’i adalah pengingat agar manusia kembali kepada kesederhanaan dalam berbicara. Dunia tidak membutuhkan banyak suara, tetapi membutuhkan lebih banyak ketenangan dan kebijaksanaan. Dengan menjaga lisan, kita menjaga hati; dengan menjaga hati, kita menjaga hubungan dengan Allah.

Maka, sebelum berbicara, tanyakanlah pada diri sendiri: Apakah kata-kata ini bermanfaat? Apakah ia mendekatkan aku kepada kebaikan?
Jika jawabannya tidak, maka diam adalah pilihan yang lebih mulia.
Sebab, dari diam yang dijaga, lahir hati yang bersinar, dan dari hati yang bersinar, terpancar kehidupan yang penuh kedamaian. 🌙

Lokasi Kami