Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Adab Santri dengan Para Gurunya, Sesuatu yang Lazim di Tradisi Pesantren


Dalam kehidupan pesantren, hubungan antara santri dan gurunya bukanlah sekadar hubungan antara murid dan pengajar. Ia merupakan sebuah ikatan batin yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritual, rasa hormat, dan kesadaran akan keberkahan ilmu. Bagi santri, guru tidak hanya berperan sebagai sosok yang menyampaikan pelajaran, tetapi juga pembimbing ruhani yang menuntun mereka dalam memahami makna hidup, iman, dan akhlak. Maka tidak mengherankan jika adab terhadap guru menjadi bagian paling mendasar dalam tradisi pesantren—sebuah warisan yang terus dijaga dari generasi ke generasi.

Dalam pandangan pesantren, ilmu tidak bisa dipisahkan dari adab. Sebagaimana ungkapan para ulama terdahulu, “Adab qabla al-‘ilm,” yang berarti “Adab harus didahulukan sebelum ilmu.” Pepatah ini bukan hanya slogan, tetapi prinsip hidup yang tertanam dalam sanubari setiap santri. Sebelum memahami isi kitab, mereka terlebih dahulu diajarkan bagaimana bersikap di hadapan gurunya: bagaimana berbicara, duduk, mendengarkan, bahkan bagaimana cara menerima ilmu dengan penuh hormat dan kesungguhan hati.

Sejak pertama kali seorang santri menapakkan kaki di pondok, pelajaran pertama yang mereka terima bukanlah tata bahasa Arab atau tafsir Al-Qur’an, melainkan pelajaran tentang adab. Mereka diajarkan untuk menundukkan pandangan di hadapan kiai, berbicara dengan sopan, tidak mendahului guru dalam berbicara, serta selalu menjaga sikap tawadhu (rendah hati). Semua itu bukan bentuk ketundukan buta, melainkan bentuk kesadaran bahwa ilmu adalah cahaya, dan guru adalah perantara yang menyampaikannya.

Dalam kitab klasik Ta‘lim al-Muta‘allim, Syekh Burhanuddin Az-Zarnuji menjelaskan bahwa keberkahan ilmu hanya akan diperoleh jika seseorang menghormati gurunya. Beliau menulis:

“Barang siapa tidak menghormati gurunya, maka ia tidak akan memperoleh manfaat dari ilmunya.”

Ungkapan ini menjadi pedoman yang dipegang teguh oleh para santri di berbagai pesantren di Indonesia. Mereka meyakini bahwa keberhasilan seseorang bukan hanya diukur dari sejauh mana ia menguasai ilmu, tetapi juga seberapa besar ia menghormati sosok yang mengajarkannya.

Adab santri kepada guru juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren. Misalnya, ketika seorang santri bertemu dengan kiai, ia akan menundukkan kepala, mencium tangan, atau berdiri sebagai tanda penghormatan. Saat kiai berbicara, para santri akan diam dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Bahkan, dalam tradisi tertentu, santri tidak berani duduk lebih tinggi dari tempat duduk gurunya, karena hal itu dianggap kurang sopan. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini menjadi simbol kerendahan hati dan bentuk pengakuan bahwa guru memiliki kedudukan mulia sebagai pewaris ilmu para nabi.

Tradisi semacam ini sering kali disalahpahami oleh sebagian orang luar yang tidak mengenal budaya pesantren. Ada yang menganggap sikap santri terlalu tunduk atau berlebihan dalam menghormati gurunya. Namun sejatinya, di balik sikap tersebut tersimpan nilai luhur tentang kesopanan, tata krama, dan kesadaran spiritual. Adab santri bukanlah bentuk pemujaan terhadap manusia, melainkan cara mereka memuliakan ilmu yang Allah titipkan melalui para guru.

Hubungan antara santri dan guru dalam pesantren juga dibangun atas dasar cinta dan keikhlasan. Seorang kiai mengajar bukan untuk mencari keuntungan duniawi, melainkan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Begitu pula santri menimba ilmu dengan niat ibadah dan mengharap ridha Ilahi. Karena itu, hubungan keduanya menjadi ikatan yang suci dan penuh keberkahan. Tak jarang, santri tetap menjaga hubungan dengan gurunya meskipun telah menjadi tokoh besar, pejabat, atau ulama di daerahnya masing-masing. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya rasa hormat yang tumbuh dari ajaran adab pesantren.

Dalam konteks kehidupan modern yang serba cepat dan individualistik, nilai-nilai adab seperti ini sering kali mulai pudar. Banyak pelajar yang lebih mengutamakan prestasi akademik daripada penghormatan terhadap pengajar. Guru dipandang hanya sebagai fasilitator, bukan sosok yang harus dimuliakan. Di sinilah pesantren memainkan peran penting sebagai penjaga nilai moral dan spiritual dalam dunia pendidikan. Pesantren mengajarkan bahwa kecerdasan intelektual tidak akan berarti tanpa kecerdasan hati. Adab menjadi fondasi yang menuntun ilmu agar tidak melahirkan kesombongan, melainkan kerendahan hati dan kebermanfaatan.

Kiai-kiai pesantren sering mengingatkan santrinya dengan pesan bijak:

“Ilmu yang bermanfaat lahir dari hati yang bersih dan adab yang terjaga. Jika engkau ingin ilmunya berkah, muliakanlah gurumu sebagaimana engkau memuliakan ilmu itu sendiri.”

Pesan tersebut menggambarkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara pengetahuan dan perilaku. Ilmu tanpa adab akan melahirkan kesombongan, sedangkan adab tanpa ilmu akan kehilangan arah. Keduanya harus berjalan beriringan agar melahirkan generasi yang berilmu sekaligus berakhlak.

Oleh karena itu, adab santri dengan para gurunya bukan hanya tradisi lama yang layak dikenang, tetapi nilai yang harus dijaga dan diwariskan. Di dalamnya terkandung pelajaran mendalam tentang ketulusan, kesabaran, dan penghormatan terhadap ilmu. Selama adab tetap dijunjung tinggi, pesantren akan terus menjadi benteng moral bangsa—tempat tumbuhnya insan berilmu yang rendah hati dan berakhlak mulia.


🕊️ Adab santri terhadap guru bukan sekadar kebiasaan, tetapi cermin dari keimanan dan rasa syukur atas nikmat ilmu. Dari adab lahir keberkahan, dari guru mengalir cahaya, dan dari pesantren tumbuh peradaban yang berakar pada akhlak.

 




Lokasi Kami